Jumat, 05 November 2010

Mbah Maridjan vis-à-vis SBY

Tanyakan kepada orang Jogyakarta, siapa yang tak kenal Mbah Marijan? Jika ia memang orang asli Jogyakarta, Insya Allah tak mungkin tak mengenal tokoh satu ini. Terlebih kini namanya sedang hangat-hangatnya diperbincangkan seiring hangatnya udara malam di Kaliurang karena sang Merapi tengah bergejolak. Mbah Marijan, menjadi tokoh yang tak kalah tenarnya dengan Sri Sultan Hamengkubuwono selaku Gubernur Kota pelajar ini dan bukan hanya itu beliau terkenal dengan sosok kepemimpinannya menjaga sebuah amanah yang telah diembangnya dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Gunung Merapi, memang diperkirakan akan meletus dan menumpahkan lahar panasnya dalam hitungan hari. Hiruk pikuk warga dan pemerintah terlihat dengan semakin meningkatnya status dan aktivitas gunung merapi paling aktif di Indonesia ini. Riuh rendah dan hingar bingar di 'bawah' ternyata tak membuat Mbah Marijan ikut sibuk. Ia tetap tenang seolah Merapi tak tengah mengancamnya. Sampai pada tanggal 26 Oktober 2010 Gunung pun Meletus dan banyak tersiar dibeberapa media baik elektronik maupun cetak mengabarkan beliau bahwa terdapatmayat yang sedang sujud dan kaku.

Apa yang musti kita petik dari Mbah Maridjan jika kita membandingkan dengan para pengambil kebijakan dalam mengembang sebuah amanah rakyat. Beliau dalam kesehariannya sekitar pukul 17.00, tokoh yang saat ini menjadi "most wanted person" bagi para pencari berita itu sedang duduk berdzikir di Masjid di depan rumahnya. Perawakannya kecil, jalannya sudah mulai lamban walau pun ia masih mampu menempuh puncak Merapi dengan berjalan kaki. Kesan pertama ketika bertemunya, jauh dari cerita yang sering tertulis di beberapa media massa. Sosoknya amat sederhana, sesederhana rumahnya yang tak berbeda dengan rumah kebanyakan warga di Dusun Kinaherjo. Padahal, 'jabatan' yang disandangnya dari Sultan bukanlah jabatan sepele dan tidak sembarang orang bisa dipercaya menjadi juru kunci.

Mbah Marijan tetap tenang, tak menganggap kepulan asap di puncak Merapi sebagai ancaman. Meski demikian ia tetap meminta warganya untuk waspada, namun ia belum menganjurkan seluruh warga yang tinggal di lereng merapi untuk mengungsi. Menurut mbah Marijan, Merapi sudah biasa 'batuk-batuk' seperti saat ini. Dan belum warga belum perlu mengungsi.

Lelaki yang tak mau berbahasa Indonesia ini tak ingin menjawab secara tegas ketika pertanyaan mengarah kepada kemungkinan meletusnya gunung Merapi. Baginya, Allah belum memberi petunjuk berupa tanda-tanda akan meletusnya Merapi sehingga ia tak meminta warganya untuk turun dan mengungsi. Kenyataan ini sungguh berlawanan dengan pernyataan Sultan yang meminta warga di lereng gunung segera mengungsi. "Jika Sultan meminta warga turun, berarti itu yang bicara bukan Sultan, melainkan Gubernur," ujar Mbah Marijan.

Dalam pembicaraan yang terekam handycam yang kami bawa itu, Mbah Marijan justru berharap Sultan dan pemerintah daerah mengizinkannya melakukan doa bersama mohon keselamatan agar Merapi tak 'marah'. "Masalahnya, saya diizinkan atau tidak oleh pemerintah kalau saya berdoa kepada Gusti Allah... "tanya Mbah berharap.
Pertanyaan yang sesungguhnya tak perlu jawaban dari Sultan atau pun pemerintah setempat. Karena bagi Mbah Marijan, yang dimaksud doa bersama itu tidak mesti membuat acara besar seperti layaknya acara 'selamatan' di kampung-kampung dengan mengundang banyak orang. "Cukup semua masyarakat bersama-sama berdoa, boleh dari rumahnya masing-masing, meminta kepada Allah agar Merapi tak jadi meletus," tambah Mbah.

Mbah Marijan bukan sosok penuh misteri, bukan tokoh klenik, bukan pula seperti yang banyak diberitakan di media massa tentang kesaktian dan ilmu-ilmu aneh yang dimilikinya. Lelaki berumur lebih dari 80-an itu adalah orang yang shalih, taat beribadah dan senantiasa merasa dekat dengan Tuhannya. Begitu juga dengan keluarganya, istri dan lima anaknya adalah orang-orang shalih.

Soal keengganannya berbahasa Indonesia, mbah Marijan berkomentar, "Saya ini orang kecil, hanya berbahasa menggunanakan bahasa orang kecil. Karena itu, omongan saya didengar oleh orang kecil. Bahasa Indonesia itu hanya dipakai oleh orang besar. Dan bahasa Indonesia itu terkesan sombong, saya tak mau dibilang sombong."

Subhanallah, suatu anugerah luar biasa bisa berkunjung ke rumah mbah Marijan. Teramat banyak pelajaran dari tutur kata lembutnya yang terasa sangat 'dalam'. Tak terasa persinggahan di rumah sederhana itu hingga pukul 20.00. Kekhawatiran akan meletusnya Merapi pada saat kami berada di rumah itu, seolah sirna oleh ketenangan yang memancar dari wajah lelaki mengagumkan itu.

Akan tetapi, menurut penulis kepemimpinan beliaulah yang sekarang ini mulai menghilang bahkan bisa dikata sudah habis, bila kita bandingkan dengan kepemimpinan SBY misalnya sangat jauh berbeda terutama dalam memegang prinsip, untuk lebih jelasnya lihat dikolom ini typekal kepemimpinan Mbah Maridjan vis-à-vis SBY:
Mbah Maridjan SBY
Amanah Ya Belum Terlihat
Memegang Prinsip Ya Tdk
itulah yang menurut penulis berbeda jauh dengan kepemimpinan SBY dengan Mbah Maridjan, akan tetapi ini adalah pendapat terserah mau di dengar atau tidak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar