Sabtu, 15 Januari 2011

Epistemologi Pendidikan Islam (Sebagai Pengantar)

oleh: Andy

Pendidikan Islam hingga kini boleh dkatakan masih berada dalam posisi problematik antara “determinasi historis” dan “realisme praktis” . Hal ini menandakan pendidikan Islam di satu sisi, belum bisa keluar dari idealsasi kejayaan pemikiran dan peradaban Islam masa lampau yang hegemonic; sementara di sisi lain, ia juga (pendidikan Islam) “di telanjangi” oleh tuntutan-tuntutan masa kini, khususnya yang datang dari Barat, dengan orientasi sangat praktis. Dalam dataran historis-empiris, acap kali menimbulkan dualisme (dikotomi) dan penyeragaman sistem pendidikan di tengah masyarakat yang plural, sehingga agenda dekonstruksi-rekonstruksi pendidikan Islam yang dilontarkan, hanya sekedar tataran konsep bukan pada tataran praksis. Sehingga tidak heran dalam dunia Islam kita masih saja mendapati tampilan “sistem pendidikan Islam” yang sangat konservatif karena tetap memakai “baju kotor/lama” (the old fashion), sementara disisi lain kita mendapati “sistem pendidikan Islam” yang bercorak materilsitik-sekularistik.
Melihat sejarah yang ada khususnya pada abad III-V H tradisi (turats) pendidikan Islam mengandung tiga struktur episteme yang saling bersaing yaitu bayani, irfani, dan burhani.
1. Epistem Bayani, secara leksikal-etimologis, menurut al-Jabiri term bayan mengandung beragam arti, yaitu kesinambungan (al-washl), keterpilahan (al-fashl), jelas dan terang (azh-zhuur wa al-wudhuh), dan kemampuan membuat terang dan jelas.
Munculnya bayani, setidaknya ia memiliki akar kesejarahan yang panjang dalam pelataran budaya dan tradisi pemikiran Arab. Sehingga dengan sendirinya memunculkan sebuah genealogi pemikiran yang dikenal dengan ulama bayaniyyun yang mana merekalah mempunyai otoritas dalam ranah keagamaan dan keilmuan, meminjam istilah al-Jabiri, yang secara “kolegial” berperan dalam memapankan ilmu-ilmu Arab-Islam yang bersifat murni (istidlali), yaitu nahwu, Balaghah Fiqh, dan Kalam. Ilmu-ilmu inilah yang kemudian membentuk keilmuan naqliyah-murnih dan kelimuan naqliyah-‘aqliyyah. Imam Syafi’I merupakan salah satu tokoh fundamentalnya yang terformulasikan ar-Risalahnya (ushul fiqh) yang kemudian memunculkan al-Baqillani dan al-Ghazali dan lain sebaginya.
Jika dilihat dari tradisi keilmuan bayani, setidaknya dapat dipahami, baik sebagai sebuah proses maupun produk, ia berasal dan bermuara pada dialektika dengan teks (repreduksi teks).
2. Epistem ‘Irfani, nalar irfani baru berkembang setelah pengaruh nalar gnostik yang banyak diintrodusir dari tradisi Persia masuk ke dunia Islam dan diapresiasi oleh kaum Syi’ah dan kalangan sufi.
Kaum Irfani lebih menekankan pada pemerolehan pengetahuan kashfi yang bisa diperoleh melaului riyadhah dan mujahadah, bukan melalui kapabilitas rasionalnya.
3. Epistem Burhani, Sementara berkembangnya kaum Irfani, bersamaan dengan gerakan massif penerjemahan buku-buku warisan pemikiran Yunani (Hellensime), sehingga Epistem Burhani mengalami perkembangan di dunia Islam atas prakarsa para filsuf.
Dari paparan di atas, ternyata hegemoni Epistem Bayani, mempunyai kans terbesar dewasa ini, khusunya pengaruhnya terhadap pendidikan Islam di Indonesia, terutama dalam konteks pendidikan pesantren, yang memang disinyalir mempunyai sanad keilmuan yang kuat dengan budaya dan tradisi pemikiran Islam abad Klasik-Pertengahan. Hal ini dapt dilihat dari wawasan keilmuan yang dikembangkan lebih memprioritaskan ilmu keagamaan, khsusnya fiqh, sufistik, dan ilmu alat, dan dominasi penalaran madzhabi. Terlebih lagi ketika terjadi gerakan “neo-sufisme” berpengaruh nyata atas sejarah umat Islam di tanah air sehingga citra pendidikan pesantren pun lekat dengan “pelembagaan” orientasi fiqh-sufistik.
Atas dasar itu pendidikan Islam Transformatif menawarkan sebuah konstruk ide bahwa epistemolgi pendidikan Islam sebagai matrik konseptual aktivitas cultural-performatif yang berkaitan langsung dengan dinamika praksis sosial budaya perlu secara progresif mempertegas jati diri keberpihakannya pada tindakan penyadaran dan pemberdayaan. Dengan tawaran ijtihad dan tajdidnya, epistemology pendidikan Islam perlu memadukan secar sinergis-dialektis anatara bayani, irfani dan burhani dalm struktur hierarkis-piramidal yang bermatra ayat kauniyyah dan ayat qawliyyah dalam kerangka humanisasi, liberalisasi, dan transendensi demi terwujudnya pendidikan Islam transformatif. Selamat Belajar Berjuang Bertakwa
Wallahu Muaffiq Ilaa Aqwamith Thariq
Wassalam dan Selamat Malam

Pendidikan Multikultural: Sebuah Pengantar Membangun Keberagamaan dan Menghapus (Peng)dikotomi(an)

oleh: Andy
Berbicara mengenai pendidikan di bumi Nusantara ini, sama halnya kita memulai berlayar dengan tanpa tujuan dan tanpa arah, hal ini disebabkan banyaknya karang yang sudah menjadi prasasti-prasasti berhala bagi kaum burjois. Akan tetapi semangat gerakan teman-teman-teman tak akan melunturkan semangat juang kami. (………Andy)

Perkembangan pembangunan nasional dalam era industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat. Konglomerasi, liberalisasi, kapitalisasi, dan upaya menjadikan pendidikan sebagai komoditas dalam kenyataannya telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan pekerja, kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi kondisi masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan sosial, konflik antar golongan, antar suku dan sebagainya.
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa dan disentigrasi moral,
Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.

1. Sejarah Multikultaralisme: Sebagai pemahaman awal

Sebagai sebuah kebijakan publik, multikulturalisme merupakan paham yang relatif baru. Paham ini mencul pada tahun 70-an di Kanada, Inggris, dan Australia (Zuhairi, 2009). Ketiga negara ini mengeluarkan kebijakan setelah melihat realitas, yang mana ditandai dengan pesatnya arus imigrasi. Sedangkan menurut beberapa ahli Amerika juga menjadi pelaku sejarah dari keluarnya paham ini yang dilakukan radikal kiri dalam mengkritisi bias ekspansi budaya.
Dalam sejarahnya, multikulturalisme diawali dengan teori melting pot yang sering diwacanakan oleh J Hector seorang imigran asal Normandia. Dalam teorinya Hector menekankan penyatuan budaya dan melelehkan budaya asal, sehingga seluruh imigran Amerika hanya memiliki satu budaya baru yakni budaya Amerika, walaupun diakui bahwa monokultur mereka itu lebih diwarnai oleh kultur White Anglo Saxon Protestant (WASP) sebagai kultur imigran kulit putih berasal Eropa (http://susvie.wordpress.com/2008/08/11/multikulturalisme/, 2010)
Kemudian, ketika komposisi etnik Amerika semakin beragam dan budaya mereka semakin majemuk, maka teori melting pot kemudian dikritik dan muncul teori baru yang populer dengan nama salad bowl sebagai sebuah teori alternatif dipopulerkan oleh Horace Kallen. Berbeda dengan melting pot yang melelehkan budaya asal dalam membangun budaya baru yang dibangun dalam keragaman, Teori salad bowl atau teori gado-gado tidak menghilangkan budaya asal, tapi sebaliknya kultur-kultur lain di luar WASP diakomodir dengan baik dan masing-masing memberikan kontribusi untuk membangun budaya Amerika, sebagai sebuah budaya nasional. Pada akhirnya, interaksi kultural antar berbagai etnik tetap masing-masing memerlukan ruang gerak yang leluasa, sehingga dikembangkan teori Cultural Pluralism, yang membagi ruang pergerakan budaya menjadi dua, yakni ruang publik untuk seluruh etnik mengartikulasikan budaya politik dan mengekspresikan partisipasi sosial politik mereka. Dalam konteks ini, mereka homogen dalam sebuah tatanan budaya Amerika. Akan tetapi, mereka juga memiliki ruang privat, yang di dalamnya mereka mengekspresikan budaya etnisitasnya secara leluasa.





2. Pengertian Pendidikan Multikultural: Sebagai paradigma berpikir

Multikulturalisme merupakan paham yang memberikan perhatiannya terhadap kelompok minoritas, terutama dalam rangka melindungi terhadapa kelompok etnis sehingga mereka dapat memperthankan identitas atau dengan kata lain naisonalisme untuk minoritas (Zuhairi, 2009). Menurut Musa Asy’arie, bahwa pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak. Di sini jelas terlihat bahwasanya pendidikan multikultural menitikberatkan pada sikap hidup yang menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Tidak ada kemudian semacam tekanan, dominasi, diskriminasi, saling mencemooh, dan lain-lain, yang ada kemudian adalah hidup berdampingan secara harmonis, saling toleransi, menghormati, pengertian, dan sebagainya.
Menarik untuk disimak, yaitu apa yang disampaikan oleh Musa Asy’arie, seperti yang dikutip di atas, “Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak”. Di sini terlihat jelas salah satu pentingnya pendidikan multikultural bagi bangsa Indonesia, yaitu untuk menjaga keutuhan bangsa, persatuan dan kesatuan tetap terjaga, dan yang pasti integritas bangsa semakin kuat.
3. Implementasi dalam Dunia Pendidikan: Membangun keberagamaan dan menghapus (peng)Dikotomi(an)
Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde Baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultur untuk menangkal semangat primordialisme tersebut.
Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
• Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
• Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
• Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
• Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
• Pendidikan multikultural membangun keberagamaan dan menghapus (peng)dikotomi(an).
Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional.
Zubaidi (2005), Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Zuhari Misrawi, Alquran Kitab Toleransi. Jaktim: Fitrah
Akhmad Sudrajat, Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia, 2010
http://maulanusantara.wordpress.com/2008/04/30/pendidikan-multikultural-dalam-tinjauan-pedagogik/
http://yusronz-krautz.blogspot.com/2008/03/teori-pendidikan-multikultural.html
http://susvie.wordpress.com/2008/08/11/multikulturalisme/
dan lain sebagainya